Minggu, 12 Juni 2011

TUGAS

Tugas resum Pak Warman

A. PENGERTIAN NEGARA DAN PEMERINTAHAN
a.Pengertian Negara Menurut Para Ahli
•Georg Jellinek : Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
•Aristoteles : Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
•Prof. Sumantri : Negara adalh suatu organisasi kekuasaan oleh karena dalam setiap organisasi yang bernama Negara selalu kita jumpai adanya organ atau perlengkapan yang mempunyai kemempuan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga yang bertempatntinggal diwilayah kekuasa
•Georg Wilhelm Friedrich Hegel : Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
•Roelof Krannenburg : Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
•Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
•Prof. Mr. Soenarko : Negara adalah suatu organisasi masyarakat yang mempunyai daerah tertentu di mana kekuasaan Negara berlaku sepenuhnya sebagai kedaulatan.
•Prof. Miriam Budiarjo : Negara adalah organisasi yang dalam satu wilayah dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.

b.Pengertian Negara Secara Umum
Secara umum Negara di artikan sebagai organisasi tertinggi di antara suatu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu yang mempunyai pemerintah yang berdaulat.

c. Pengertian Pemerintahan
Pemerintahan sebagai sekumpulan orang-orang yang mengelola kewenangan-kewenangan, melaksanakan kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan serta pembangunan masyarakat dari lembaga-lembaga dimana mereka ditempatkan.
Pemerintahan merupakan organisasi atau wadah orang yang mempunyai kekuasaaan dan lembaga yang mengurus masalah kenegaraan dan kesejahteraan rakyat dan negara.
Government dari bahasa Inggris dan Gouvernment dari bahasa Perancis yang keduanya berasal dari bahasa Latin, yaitu Gubernaculum, yang berarti kemudi, tetapi diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Pemerintah atau Pemerintahan dan terkadang juga menjadi Penguasa.
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam usaha mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam ari sempit adalah segala kegiatan badan-badan publik yang hanya meliputi kekuasaan eksekutif. (C.F. Strong)
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh Negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan Negara sendiri; jadi tidak diartikan sebagai Pemerintah yang hanya menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya temasuk legislatif dan yudikatif.
Pemerintahan adalah lembaga atau badan public yang mempunyai fungsi dan tujuan Negara, sedangkan pemerintahan adalah lembaga atau badan-badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan Negara (Ermaya Suradinata)
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia. Sebagai contoh: Republik, Monarki / Kerajaan, Persemakmuran (Commonwealth). Dari bentuk-bentuk utama tersebut, terdapat beragam cabang, seperti: Monarki Konstitusional, Demokrasi, dan Monarki Absolut / Mutlak.
Proses dimana pemerintahan seharusnya bekerja menurut fungsi fungsinya banyak dirumuskan oleh sarjana pemerintahan seperti Rosenbloom atau Michael Goldsmith yang lebih menegaskan pada fungsi negara.Sementara itu, dari aspek manajemen, pemerintahan terkait dengan fungsi fungsi memimpin, memberi petunjuk, memerintah, menggerakkan, koordinasi, pengawasan dan motivasi dalam hubungan pemerintahan.Hal ini digambarkan oleh Karl W Deutsch bahwa penyelenggaraan pemerintahan itu ibarat membawa kapal di tengah samudra. Di Athena sendiri, fungsi fungsi pemerintahan dapat ditemukan dalam konstitusi berupa fungsi peradilan, perencanaan anggaran belanja, pajak, militer dan polisi.
Rasyid membagi fungsi pemerintahan menjadi 4 bagian yaitu:
1. Fungsi pelayanan (public service)
2. Fungsi pembangunan (development)
3. Fungsi pemberdayaan (empowering)
4. Fungsi pengaturan (regulation)
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.
d. Keberadaan negara
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.
e. Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan fakta sejarah
• Pendudukan (Occupatie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah yang tidak bertuan dan belum dikuasai, kemudian diduduki dan dikuasai.Misalnya,Liberia yang diduduki budak-budak Negro yang dimerdekakan tahun 1847.
• Peleburan (Fusi)
Hal ini terjadi ketika negara-negara kecil yang mendiami suatu wilayah mengadakan perjanjian untuk saling melebur atau bersatu menjadi Negara yang baru.Misalnya terbentuknya Federasi Jerman tahun 1871.
• Penyerahan (Cessie)
Hal ini terjadi Ketika suatu Wilayah diserahkan kepada negara lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu.Misalnya,Wilayah Sleeswijk pada Perang Dunia I diserahkan oleh Austria kepada Prusia,(Jerman).
• Penaikan (Accesie)
Hal ini terjadi ketika suatu wilayah terbentuk akibat penaikan Lumpur Sungai atau dari dasar Laut (Delta).Kemudian di wilayah tersebut dihuni oleh sekelompok orang sehingga terbentuklah Negara. Misalnya wilayah negara Mesir yang terbentuk dari Delta Sungai Nil.
• Pengumuman (Proklamasi)
Hal ini terjadi karena suatu daerah yang pernah menjadi daerah jajahan ditinggalkan begitu saja. Sehingga penduduk daerah tersebut bisa mengumumkan kemerdekaannya. Contahnya, Indonesia yang pernah di tinggalkan Jepang karena pada saat itu jepang dibom oleh Amerika di daerah Hiroshima dan Nagasaki.
f. Teori-teori Terjadinya Negara
Tentang terjadinya atau timbulnya suatu negara dapat dikemukakan beberapa teori:
1. Teori Kenyataan
Timbulnya suatu negara merupakan suatu kenyataan. Apabila pada suatu ketika telah terpenuhi unsur-unsur negara(daerah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat), maka pada saat itu juga negara itu sudah menjadi suatu kenyataan.
2. Teori Ketuhanan
Timbulnya negara adalah atas kehendak Tuhan. Segala sesuatu tidak akan terjadi apabila Tuhan tidak memperkenankannya. Kalimat-kalimat yang berikut menunjuk ke atas teori ini: "Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa..." atau "By the grace of God..."
3. Teori Perjanjian
Negara timbul karena perjanjian yang diadakan orang-orang yang tadinya hidup bebas, terlepas satu sama lain. Perjanjian ini diadakan supaya kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin, supaya "orang yang satu tidak merupakan binatang buas bagi orang yang lain" (homo homini lupus). Perjanjian itu disebut perjanjian masyarakat(contract sosial), menurut ajaran Rousseau. Dapat pula terjadi perjanjian antar negara penjajah rakyat daerah jajahan, seperti kemerdekaan Filipina pada tahun 1946 dan India pada tahun 1947.


4. Teori Penaklukan
Negara timbul karena serombongan manusia menaklukan daerah dan rombongan manusia
lain. Agar daerah dan rombongan itu tetap dapat dikuasai, dibentuklah suatu organisasi(negara).

Selain itu suatu negara dapat pula terjadi karena:
1) Pemberontakan masyarakat terhadap negara lain yang menjajahnya, misalnya Amerika Serikat terhadap Inggris pada tahun 1776-1783.
2) Peleburan(fusi) antara beberapa negara menjadi satu negara baru, misalnya Jerman bersatu pada tahun 1871
3) Suatu daerah yang belum ada rakyatnya diduduki bangsa lain, misalnya Liberia.
4) Suatu daerah tertentu melepaskan diri dari negara yang tadinya menguasainya dan menyatakan dirinya sebagai suatu negara baru, misalnya Indonesia pada tahun 1945. hal ini dapat terjadi secara damai(persetujuan dari negara penjajah dan terjajah)dan dapat pula terjadi secara kekerasan. Cara yang pertama timbul dengan cara perjanjian dan penyerahan kedaulatan, sedangkan cara yang ke dua timbul dengan kekerasan(revolusi).

g. Tujuan tujuan negara
Setiap Negara mempunyai tujuan yaitu tujuan bangsa itu sendiri dalam hidup bernegara. Tujuan Negara berbeda-beda sesuai dengan pandangan masyarakat pada bangsa tersebut serta pandangan hidup yang melandasinya. Pada umumnya, tujuan Negara ditetapkan dalam konstitusi atau hukum dasar Negara yang bersangkutan.
 Ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai tujuan Negara yakni
a) Menurut Roger H Soltan, tujuan Negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta mengembangkan daya cipta sebebas mungkin.
b) Menurut Harold J Laski, tujuan Negara adalah menciptakan keadaan yang baik agar rakyatya dapat mencapai keinginan secara maksimal.
c) Menurut Rouuseau, tujuan Negara adalah menciptakan persamaan dan kebebasan bagi warganya.

 Beberapa teori tujuan negara:
1. Teori Fasisme
Tujuan negara menurut teori fasisme adalah imperium dunia. Pemimpin bercita-cita untuk mempersatukan semua bangsa di dunia menjadi satu tenaga atau kekuatan bersama. Beberapa negara yang pernah menganut fasisme antara lain Italia ketika dipimpin oleh Benito Mussolini, Jerman ketika dipimpin Adolf Hitler, dan Jepang ketika dipimpin Tenno Heika.
2. Teori Individualisme
Teori individualisme berpendapat bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam urusan pribadi, ekonomi, dan agama bagi warga negaranya. Tujuan dibentuknya negara hanyalah berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban individu serta menjamin kebebasan seluas-luasnya dalam memperjuangkan kehidupannya.
3. Teori Sosialisme
Teori sosialisme berpendapat bahwa negara mempunyai hak campur tangan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal mi dilakukan agar tujuan negara dapat tercapai. Tujuan negara sosialis adalah memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi setiap anggota masyarakat.
4. Teori Integralistik
Teori integralistik berpendapat bahwa tujuan negara itu merupakan gabungan dan paham individualisme dan sosialisme. Paham integralistik ingin menggabungkan kemauan rakyat dengan penguasa (negara). Paham integralistik beranggapan bahwa negara didirikan bukan hanya untuk kepentingan perorang¬an atau golongan tertentu saja, tetapi juga untuk kepentingan seluruh masyarakat negara yang bersangkutan.
Paham integralistik melihat negara sebagai susunan masyarakat yang integral, dan anggota-anggotanya saling terkait sehingga membentuk satu kesa¬tuan yang organis. Paham integralistik diperkenalkan oleh Prof. Dr. Supomo pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tanggal 30 Mei 1945. Paham Integralistik merupakan aliran pemi¬kiran yang sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan tolong-menolong.
 Pentingnya Pengakuan Suatu Negara oleh Negara Lain:
Tata hubungan intemasional menghendaki status negara merdeka sebagai syarat yang harus dipenuhi. Pengakuan dan negara lain juga merupakan modal bagi suatu negara untuk diakui sebagai negara yang merdeka. Pengakuan negara terhadap negara lain dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengakuan secara de Facto dan de Jure.
Teori-teori tujuan negara menurut Lord Shang:
Menurut Lord Shang, didalam setiap nagara terdapat subyek yang selalu berhadapan dan bertentangan, yaitu pemerintah dan rakyat. Kalau yang satu kuat yang lainnya tentu lemah. Yang sebaliknya pihak pemerintah yang lebih kuat daripada pihak rakyat, supaya jangan timbul kekacauan dan anarchis. Karena itu pemerintah harus selalu berusaha supaya ia lebih kuat daripada rakyat.
 Teori-teori tujuan negara menurut Niccolo Macchiavelli:
Menurut Macchiavelli, pemerintah harus selalu berusaha agar tetap berada diatas segala aliran-aliran yang ada dan bagaimanapun lemahnya pemerintah, harus ia perlihatkan bahwa ia tetap lebih berkuasa. Kalau yang demikian tercapai banyak harapan akan terciptanya kemakmuran. Inilah tujuan utama bagi negara.
Macchiavelli berkata, bahwa pemerintah kadang-kadang harus bersikap sebagai singa terhadap rakyatnya supaya rakyat takut kepada pemerintah, dan sebaliknya kadang-kadang harus bersikap sebagai kancil yang cerdik untuk menguasai rakyat. Bila perlu, negara boleh mengadakan perjanjian dengan negara-negara lain, asal saja tidak merugikan bagi kesejahteraan negara dan rakyat.
 Teori-teori tujuan negara menurut kaum sosialis:
Bagi kaum sosialis, dasar ialah bahwa semua manusia dilahirkan dengan hak-hak yang sama dan berhak atas perlakuan yang sama. Karena itu tujuan bernegara bagi kaum sosialis ialah: memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan merata bagi setiap manusia. Kebahagiaan itu hanya dapat terwujud jikalau setiap manusia mempunyai mata pencarian yang memberi penghasilan yang layak, dan adanya jaminan-jaminan bahwa hak-hak azasi dan kebebasan manusia tidak dilanggar. Oleh karena manusia itu bersifat egois, maka pemberian rezeki yang layak dan jaminan-jaminan atas hak dan kebebasan itu tidak akan terwujud dengan sendirinya didalam masyarakat, jika tidak diusahakan dan diatur dalam undang-undang. Karena itu dalam ketatanegaraan harus diwujudkan sistem perekonomian yang memungkinkan pembagian rezeki yang merata dikalangan rakyat itu dapat berakibat mengurangi hak-hak azasi seorang atas hartanya yang berlebih-lebihan dan yang menghalangi pembagian rezeki jauh merata itu.
 Teori-teori tujuan negara menurut kaum kapitalis:
Bagi kaum kapitalis, dasar ialah bahwa tiap-tiap orang lebih berbakti kepada masyarakat jika masing-masing mencoba mencapai tujuannya sendiri-sendiri. Kebahagian untuk semua orang hanya tercapai, kalau setiap orang mencoba mencapai kebahagiannya sendiri-sendiri, sesuai dengan filsafah itu, kaum kapitalis memperjuangkan gerak hidup yang bebas (liberal) dengan persaingan yang bebas pula, dan sesuatu itu dalam rangka tatasusila yang beradap dan undang-undang.
Dunia perekonomian menurut pandangan kaum kapitalis ialah seakan mahluk hidup yang maju atau mundur mencari keseimbangannya sendiri. Yang mendorong perkembangan dilapangan produksi ialah kepentingan diri manusia sendiri, keinginan yang sewajarnya untuk memperbaiki keadaannya. Perekonomian yang bebas menimbulkan terbukanya sumber-sumber mata pencarian dan dengan demikian terjadi pembagian pekrjaan dalam mayarakat dan ini menyebabkan bertambahnya kekayaan masyarakat itu.

B. SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
a. Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen.
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
2. Sistem Konstitusional.
3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.
Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi
1. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif,
2. jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini.
b. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen
Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004.
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsure-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan megawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
2. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran)
Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
c. Conclution
Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri.
Pembagian sistem pemerintahan negara secara modern terbagi dua, yaitu presidensial dan ministerial (parlemen). Pembagian sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, badan eksekutif mendapat pengwasan langsung dari legislatif. Sebaliknya, apabila badan eksekutif berada diluar pengawasan legislatif maka sistem pemerintahannya adalah presidensial.
Dalam sistem pemerintahan negara republik, lebaga-lembaga negara itu berjalan sesuai dengan mekanisme demokratis, sedangkan dalam sistem pemerintahan negara monarki, lembaga itu bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda.
Sistem pemerintahan suatu negara berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di negara lain. Namun, terdapat juga beberapa persamaan antarsistem pemerintahan negara itu. Misalnya, dua negara memiliki sistem pemerintahan yang sama.
Perubahan pemerintah di negara terjadi pada masa genting, yaitu saat perpindahan kekuasaan atau kepemimpinan dalam negara. Perubahan pemerintahan di Indonesia terjadi antara tahun 1997 sampai 1999. Hal itu bermula dari adanya krisis moneter dan krisis ekonomi.

C. LEMBAGAILEMBAGA NEGARA
1. Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi Negara ialah sebagai berikut.

a. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil presiden untuk melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan – putusan MPR lainnya. MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh – sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR.
b. Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (pasal 4 – 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24).
a) Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama – sama dengan DPR membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang.
b) Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada presiden.
c) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan – tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara.
d) Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua pelaksanaan APBN. Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR.
e) Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga – lembaga tinggi Negara.

Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara dan lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya menurut UUD 1945, perhatikan dengan seksama bagan – bagan dibawah ini yang di elaborasi oleh kansil.:

2. Lembaga Tinggi Negara

a. EKSEKUTIF
Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal 4 sampai dengan pasal 15. Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur Pemerintah Pusat, Aperatur Pemrintah daerah dan usaha – usaha Negara. Aperatur pemrintah pusat terdiri dari :
Kepresidenan beserta Aparatur utamanya meliputi :
1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif).
2) Wakil presiden
3) Menteri – menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan prsiden Republik Indonesia nomor 102 Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa departemen merupakan unsure pelaksana pemerintah yang di pimpin oleh seorang menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Departemen luar negeri, departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya.
4) Kejaksaan agung
5) Sekretariat Negara
6) Dewan – dewan nasional
7) Lembaga – lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166 tahun 2000, seperti publik Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain – lain.

b. BPK
Badan Pemeriksa Keuangan (disingkat BPK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri.
Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, dan diresmikan oleh Presiden. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD (sesuai dengan kewenangannya).
 Sejarah BPK
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu; UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
 Anggota BPK
BPK mempunyai 9 orang anggota, dengan susunan 1 orang Ketua merangkap anggota, 1 orang Wakil Ketua merangkap anggota, serta 7 orang anggota. Anggota BPK memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
C. Mahkamah Agung
1. FUNGSI PERADILAN
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
-permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
-semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

2. FUNGSI PENGAWASAN
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b. Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :
- terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. FUNGSI MENGATUR
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
4. FUNGSI NASEHAT
a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. FUNGSI ADMINISTRATIF
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
6. FUNGSI LAIN-LAIN
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

D. SISTEM PEMERINTAH DAERAH
a. Definisi Pemerintahan Desa
Menurut Peraturan Daerah Nomor 7 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa, pasal 1 nomor 7 yang dimaksud dengan Kepala Desa adalah pimpinan dari Pemerintahan Desa. sedangkan menurut pasal 1 nomor 8 yang dimaksud dengan Perangkat Desa adalah unsur staf yang melaksanakan teknis pelayanan dan atau membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Desa adalah sebagai tempat tinggal kelompok atau sebagai masyarakat hukum dan wilayah daerah kesatuan administratif, wujud sebagai kediaman beserta tanah pertanian, daerah perikanan, tanah sawah, tanah pangonan, hutan blukar, dapat juga wilayah yang berlokasi ditepi lautan/danau/sungai/irigasi/ pegunugan, yang keseluruhannya merupakan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Hak Ulayat Masyarakat Desa.( Kartohadikusumo, 1988 : 16 )
Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pokok-pokok penyelengaraan Pemerintah Daerah, menyatakan bahwa : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Penjelasan Umum Undang-undang No. 5 Tahun 1974).
Hak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri ini bukanlah hak otonomi sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Pada hakekatnya Pemerintahan Desa tumbuh dalam masyarakat yang diperoleh secara tradisionil dan bersumber dari hukum adat. Jadi Desa adalah daerah otonomi asli berdasarkan hukum adat yang berkembang dari rakyat sendiri menurut perkembangan sejarah yang dibebani oleh instansi atasannya dengan tugas-tugas pembantuan.
Pada masa ini Pengertian Desa yang resmi adalah pengertian yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Desa yang didalamnya mengandung Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah : ”Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten”.
b. Kewenangan pemerintahan desa
Kewenangan desa ada fakta empirik yang menarik bahwa kewenangan desa dalam sejarah desa sepanjang zaman (prakonolial, kolonial, pasca kemerdekaan, orde baru dan era reformasi) ditempatkan dalam subordinasi atau satelit sruktur supradesa yang lebih besar.
Menurut Karya monumental denys Lombard (1996) menggambarkan secara gamblang bagaimana kerajaan-kerajaan konsentris di zaman prokolonial melakukan penundukan dan penaklukan terhadap desa-desa dibumi barat , yang waktu itu masih disebut sima.
Pada zaman penjajahan belanda, telah diterbitkan indischce staatsregeling pada tahun 1848, yang mulai berlaku pada tahun 1854. Adapun ketentuan mengenai desa diatur dalam pasal 128, sebagai berikut:
1. Desa-desa bumiputera dibiarkan memilih kepala anggota pemerintahan desanya sendiri, dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk untuk itu menurut ordonansi. Gubernur jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggarannya.
2. Dengan ordonansi dapat ditentukan keadaan dimana kepala desa dan anggota pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang di tunjuk itu.
3. Kepala desa bumiputera diberikan hak mengatur dan menggurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal, pemerintah wilayah dan presiden atau pemerintah otonom yang ditunjuk ordonansi.
4. Dengan ordonansi dapat diatur wewenang dari desa bumiputera untuk: (a) memungut pajak dibawah pengawasan tertentu; (b) didalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh desa.

c. badan perwakilan desa
Di sisi lain, Fungsi dan wewenang Badan Permusyawaratam Desa (BPD) adalah sebagai berikut:
a) Mengayomi, yaitu menjaga kelestarian adat-istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan.
b) Legislatif yaitu merumuskan dan menetapkan peraturan desa bersama-sama pemerintab desa.
c) Pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa, serta keputusan kepala desa
d) Memegang aspirasi yang diterima dan masyarakat dan menyalurkan kepada pejabat atau instansi yang berwenang.
e) Bersama-sama pemerintah desa membentuk peraturan desa.
f) Bersama-sama kepala desa menetapkan APBD desa.
g) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah desa terhadap rencana perjanjian antar desa dengan pihak ketiga dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa.
d. Keuangan Desa
UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan Desa (atau dengan nama lain) sebagai sebuah pemeintahan yang otonom. Untuk melaksanakan fungsinya, Desa diberikan dana oleh Pemerintah melalui pemerintahan atasan Desa. Oleh karena itu, Desa dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan pengelolaan keuangan desa. Menurut IRE Yogyakarta, good governance dalam pengelolaan keuangan desa meliputi:
• Penyusunan APBDes dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
• Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat.
• APBDes disesuaikan dengan kebutuhan desa.
• Pemerintah Desa bertanggungjawab penuh atas pengelolaan keuangan.
• Masyarakat baik secara langsung maupun lewat lembaga perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.
Diterbitkannya Permendagri No.37/2007 tentang pengelolaan keuangan desa memberikan landasan bagi semakin otonomnya desa secara praktik, bukan hanya sekedar normatif. Rilis aturan ini kemudian diikuti dengan rilis Permendagri No.66/2007 tentang perencanaan pembangunan desa, sehingga terdapat kesinambungan antara aturan mengenai perencanaan dengan pengelolaan keuangan desa. Beberapa pertanya kemudian muncul berkaitan dengan substansi, urgensi, dan relevansi keuda aturan tersebut dengan aturan yang telah dberlaku dan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, yang merupakan daerah otonom “atasan” dari desa. Beberapa Pemda telah pula menerbitkan Perda terkait pengelolaan keuangan desa ini.
Pertama, apakah Permendagri 37/2007 ini sejalan dengan Permendagri 13/2006? Permendagri 13 tak ubahnya “kitab suci” bagi Pemda, sehingga kadangkala kelemahan/kekurangan/kesalahan dalam Permendagri tsb dipatuhi benar. Terbitnya Permendagri 59/2007 menunjukkan adanya kekurangan dalam Permendagri 13/2006. Pada bagian “Mengingat” Permendagri 37 disebutkan UU 32/2004, UU No.8/2005, dan PP No.72/2005, berbeda dengan Permendagri 13. Kedua, apakah pengaturan tentang penggunaan alokasi dana desa (ADD) oleh Desa dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten? Jika iya, maka akan mengurangi hakikat Desa sebagai Daerah yang otonom, tapi jika tidak, kemungkinan besar penggunaan ADD tidak ekonomis, efektif dan efisien, atau bahkan menyimpang dari aturan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ketiga, bagaimana peran dan fungsi kecamatan dalam pengelolaan keuangan desa tsb? Aparatur kecamatan akan merasa cemburu apabila alokasi ADD untuk Desa ternyata sangat besar, sementara untuk Kecamatan alokasi anggaran untuk program/kegiatan sangat kecil atau malah tidak ada. Ada anggapan bahwa kecamatan adalah “atasan” desa, sehingga Desa mestinya “bergantung” dan “mematuhi” instruksi dari kecamatan. Pada kenyataannya, pengaturan dalam Permendagri 37/2007 ini tidak menyinggung sama sekali hal itu. Keempat, apakah memang terdapat kesesuaian yang utuh antara Permendagri No.37/2007 dengan Permendagri No.66/2007? Seharusnya, apa yang direncanakan menjadi dasar untuk mengalokasikan dana yang dialokasikan mengingat Depdagri sendiri “menganut” pendekatan anggaran berbasis kinerja.
Artinya, seperti halnya Permendagri 13 yang “mematuhi” UU No.32/2004, UU No.17/2003 dan UU No.25/2004, maka konsep kinerja juga mestinya dijelaskan terkait dengan aspek perencanaan. Nah, jika dicermati lebih jauh, ada beberapa hal dari Permendagri 37/2007 dan Permendagri 66/2007 tidak sinkron secara teknis. Kelima, apakah aparatur Desa, terutama Sekretaris Desa dan Bendahara, akan mampu melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban sesuai dengan yang diatur dalam Permendagri No.37/2007 tsb? Keterbatasan SDM dan kebiasaan yang berjalan selama ini harus dirubah dan diperbaikan sehingga kultur good government governance (3G) dapat merasuk ke dalam administrasi dan birokrasi desa. Keenam, secara teknis ada beberapa perbedaan antara Permendagri 37/2007 dengan Permendagri 13/2006. Di antara perbedaan tersebut adalah:
1. Bendahara hanya satu, sementara di Permendagri 13 ada 2 (penerimaan dan pengeluaran);
2. Tidak ada fungsi akuntansi. Dengan demikian, tidak ada laporan keuangan Desa.
3. Kepala Desa tidak melimpahkan kewenangannya kepada bawahannya, kecuali kepada Sekretaris Desa selaku koordinator pengelola keuangan desa.
4. Selain Sekretaris Desa dan bendahara, “pajabat” pengelola keuangan desa hanya diebutkan sebagai “perangkat desa lainnya.” Hal ini bisa menimbulkan interpretasi bahwa fungsi PPTK (dalam Permendagri 13) ditangani langsung oleh Kepala Desa atau Sekretaris Desa atau bendahara.
Beberapa persoalan lain akan muncul mengingat sangat beragamnya karakteristik Desa di Daerah. Dalam hal penentuan besaran ADD, misalnya. Apabila Pemerintah Kabupaten tidak bijak, dapat menimbulkan konflik antara Pemerintah Desa-Pemkab atau antar-Desa sendiri.
Oleh karena itu, perlu dilakukan studi dan kajian yang mendalam sebelum kebijakan tentang pengalokasian ADD dalam APBD dilakukan. Meskipun tidak ada formula bagi-bagi yang sempurna, setidaknya formula yang ditetapkan oleh Pemda nantinya bisa diterima oleh sebagian besar Desa.
e. Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Desa
Beberapa Pemerintah Daerah telah menyusun peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan
keuangan desa. Sebelumnya kabupaten hanya diharuskan membuat Perda tentang penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa pada tahun 2000.
E. PEMIIHAN UMUM
Ketentuan umum UU NO. 12 Tahun 2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2003
TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota selanjutnya secara berturut-turut disebut DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
3. Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPU adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, untuk menyelenggarakan Pemilu.
4. Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU.
5. Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Luar Negeri, Panitia Pemungutan Suara, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri selanjutnya disebut PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN.
6. Pengawas Pemilu adalah Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panita
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan yang melakukan pengawasan terhadap seluruh proses penyelenggaraan Pemilu.
7. Penduduk adalah warga negara Republik Indonesia yang berdomisili di wilayah Republik Indonesia atau di luar negeri.
8. Pemilih adalah penduduk yang berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
9. Peserta Pemilu adalah partai politik dan perseorangan calon anggota DPD.
10. Partai Politik Peserta Pemilu adalah partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta Pemilu.
11. Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta Pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-programnya.
12. Tempat Pemungutan Suara dan Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri yang selanjutnya disebut TPS dan TPSLN adalah tempat pemilih memberikan suara pada hari pemungutan suara.
13. Bilangan Pembagi Pemilihan yang selanjutnya disingkat dengan BPP adalah bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi partai politik peserta Pemilu dan terpilihnya anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
14. Tahapan penyelenggaraan Pemilu adalah rangkaian kegiatan Pemilu yang dimulai dari pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta Pemilu, penetapan peserta Pemilu, penetapan jumlah kursi, pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil Pemilu, sampai dengan pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 2
Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 3
Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 4
Pemilu dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali pada hari libur atau hari yang diliburkan.
Pasal 5
(1) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten /Kota adalah partai politik.
(2) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Pasal 6
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.
(2) DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
BAB II
PESERTA PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Peserta Pemilihan Umum dari Partai Politik
Pasal 7
(1) Partai Politik dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat:
a. diakui keberadaannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;
b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari seluruh jumlah provinsi;
c. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
d. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai politik;
e. pengurus sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c harus mempunyai kantor tetap;
f. mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.
(2) Partai politik yang telah terdaftar, tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menjadi peserta Pemilu.
(3) KPU menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penetapan tata cara penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penetapan keabsahan kelengkapan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU dan bersifat final.
Pasal 8
Dalam mengajukan nama dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f, partai politik dilarang menggunakan nama dan tanda gambar yang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang pemerintah;
c. nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional;
d. nama dan gambar seseorang; atau
e. nama dan tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
nama dan tanda gambar partai politik lain.
Pasal 9
(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR;
b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar
sekurang-c. kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
d. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.
Pasal 10
(1) Jadwal waktu pendaftaran partai politik untuk menjadi peserta Pemilu ditetapkan oleh KPU.
(2) Penetapan nomor urut partai politik sebagai peserta Pemilu dilakukan melalui undian oleh KPU dan dihadiri oleh seluruh Partai Politik Peserta Pemilu.
Bagian Kedua
Peserta Pemilihan Umum dari Perseorangan
Pasal 11
(1) Untuk dapat menjadi calon anggota DPD, peserta Pemilu dari perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a. provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000 (seribu) orang pemilih;
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu) orang pemilih;
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu) orang pemilih;
d. provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) orang pemilih;
e. provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000 (lima ribu) orang pemilih.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas lain yang sah.
(4) Seorang pendukung tidak diperbolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD.
(5) Dukungan yang diberikan kepada lebih dari satu orang calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.
(6) Jadwal waktu pendaftaran peserta Pemilu calon anggota DPD ditetapkan oleh KPU.
Pasal 12
(1) Perseorangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dapat menjadi peserta Pemilu.
(2) KPU menetapkan keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan penetapan dimaksud bersifat final.
(3) KPU menetapkan tata cara penelitian dan melaksanakan penelitian keabsahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB III
HAK MEMILIH
Pasal 13
Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Pasal 14
(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Seorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
BAB IV
PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Umum
Pasal 15
(1) Pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(2) KPU bertanggungjawab atas penyelenggaraan Pemilu.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyampaikan laporan dalam tahap penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden dan DPR.
Pasal 16
(1) Jumlah anggota:
KPU sebanyak-banyaknya 11 orang;
KPU Provinsi sebanyak 5 orang;
KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 orang.
(2) Keanggotaan KPU terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, dibantu seorang wakil ketua merangkap anggota, dan para anggota.
(3) Ketua dan wakil ketua KPU dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Setiap anggota KPU mempunyai hak suara yang sama.
Pasal 17
(1) Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
(2) KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mempunyai sekretariat.
(4) Pola organisasi dan tata kerja KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan keputusan Presiden berdasarkan usul KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam pelaksanaan Pemilu, KPU Kabupaten/Kota membentuk PPK dan PPS.
(6) Dalam melaksanakan pemungutan suara di TPS, PPS membentuk KPPS.
(7) Tugas PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir 2 (dua) bulan setelah hari pemungutan suara.
(8) Tugas PPS dan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir 1 (satu) bulan setelah hari pemungutan suara.
(9) Dalam pelaksanaan Pemilu di luar negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN.
(10) Tugas PPLN dan KPPSLN sebagaimana dimaksud pada ayat (9) berakhir 1 (satu) bulan setelah hari pemungutan suara.
(11) Untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu, KPU membentuk Pengawas Pemilu.
Pasal 18
Syarat untuk dapat menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
c. mempunyai integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;
d. mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya demokrasi dan keadilan;
e. memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan proses pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki kemampuan kepemimpinan;
f. berhak memilih dan dipilih;
g. berdomisili dalam wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP;
h. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit;
i. tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik;
j. tidak pernah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
k. tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri;
l. bersedia bekerja sepenuh waktu.
Pasal 19
(1) Calon anggota KPU diusulkan oleh Presiden untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditetapkan sebagai anggota KPU.
(2) Calon anggota KPU Provinsi diusulkan oleh gubernur untuk mendapat persetujuan KPU untuk ditetapkan sebagai anggota KPU Provinsi .
(3) Calon anggota KPU Kabupaten/Kota diusulkan oleh bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU Provinsi untuk ditetapkan sebagai anggota KPU Kabupaten/Kota.
(4) Calon anggota KPU yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , ayat (2), dan ayat (3) sebanyak 2 (dua) kali jumlah anggota yang diperlukan.
(5) Penetapan keanggotaan KPU dilakukan oleh:
- Presiden untuk KPU;
- KPU untuk KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(6) Masa keanggotaan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota adalah 5 (lima) tahun sejak pengucapan sumpah/janji.
Pasal 20
(1) Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. melanggar sumpah/janji;
d. melanggar kode etik; atau
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. anggota KPU dilakukan oleh Presiden atas persetujuan dan/atau usul DPR;
b. anggota KPU Provinsi dilakukan oleh KPU;
c. anggota KPU Kabupaten/Kota dilakukan oleh KPU.
(3) Penggantian antarwaktu anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 19.
Pasal 21
Untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas, KPU menyusun kode etik yang bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh KPU.
Pasal 22
(1) Untuk memeriksa pengaduan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, dibentuk Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc.
(2) Keanggotaan Dewan Kehormatan KPU sebanyak 3 (tiga) orang terdiri atas seorang ketua dan anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh anggota KPU.
(3) Dewan Kehormatan KPU merekomendasikan tindak lanjut hasil pemeriksaannya kepada KPU.
(4) Mekanisme kerja Dewan Kehormatan KPU ditetapkan oleh KPU.
Pasal 23
Keuangan KPU bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 24
(1) Sebelum menjalankan tugas, anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, KPPSLN mengucapkan sumpah/janji.
(2) Sumpah/janji anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPSLN adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
Bahwa saya akan memenuhi tugas dan kewajiban saya sebagai anggota KPU/ KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota/PPK/PPS/PPLN/KPPS/KPPSLN dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;
Bahwa saya akan menyelenggarakan Pemilihan Umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan kewajiban tidak akan tunduk pada tekanan dan pengaruh apa pun dari pihak mana pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan kewenangan, akan bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, adil, dan cermat demi suksesnya Pemilihan Umum, tegaknya demokrasi dan keadilan, serta mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau golongan.”
Bagian Kedua
Komisi Pemilihan Umum
Pasal 25
Tugas dan wewenang KPU adalah:
a. merencanakan penyelenggaraan Pemilu;
b. menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
c. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
d. menetapkan peserta Pemilu;
e. menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
f. menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
g. menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
h. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu;
i. melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Pasal 26
KPU berkewajiban:
a. memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara guna menyukseskan Pemilu;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
e. melaporkan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPD;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
g. melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Pasal 27
(1) Sekretariat jenderal KPU dipimpin oleh sekretaris jenderal dan dibantu oleh wakil sekretaris jenderal.
(2) Sekretaris jenderal dan wakil sekretaris jenderal adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Presiden.
(3) Sekretaris jenderal dan wakil sekretaris jenderal dipilih oleh KPU dari masing-masing 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh pemerintah dan selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Presiden.
(4) Pegawai sekretariat jenderal diisi oleh pegawai negeri sipil.
Bagian Ketiga
Komisi Pemilihan Umum Provinsi
Pasal 28
Tugas dan wewenang KPU Provinsi adalah:
a. merencanakan pelaksanaan Pemilu di provinsi;
b. melaksanakan Pemilu di provinsi;
c. menetapkan hasil Pemilu di provinsi;
d. mengkoordinasi kegiatan KPU Kabupaten/Kota; dan
e. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU.
Pasal 29
KPU Provinsi berkewajiban:
a. memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara;
b. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
c. menjawab pertanyaan serta menampung dan memproses pengaduan dari peserta Pemilu dan masyarakat;
d. menyampaikan laporan secara periodik dan mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan pelaksanaan Pemilu kepada KPU;
e. menyampaikan laporan secara periodik kepada gubernur;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan APBD; dan
g. melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Pasal 30
(1) Sekretariat KPU Provinsi dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris KPU Provinsi adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal KPU.
(3) Sekretaris KPU Provinsi dipilih oleh KPU Provinsi dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh gubernur dan selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Sekretaris Jenderal KPU.
Bagian Keempat
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
Pasal 31
Tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota:
a. merencanakan pelaksanaan Pemilu di kabupaten/kota;
b. melaksanakan Pemilu di kabupaten/kota;
c. menetapkan hasil Pemilu di kabupaten/kota;
d. membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
e. mengkoordinasi kegiatan panitia pelaksana Pemilu dalam wilayah kerjanya; dan
f. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU dan KPU Provinsi.
Pasal 32
KPU Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara;
b. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
c. menjawab pertanyaan serta menampung dan memproses pengaduan dari peserta Pemilu dan masyarakat;
d. menyampaikan laporan secara periodik dan mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan pelaksanaan Pemilu kepada KPU Provinsi;
e. menyampaikan laporan secara periodik kepada bupati/walikota;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan APBD; dan
g. melaksanakan seluruh kewajiban lainnya yang diatur undang-undang.
Pasal 33
(1) Sekretariat KPU Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris KPU Kabupaten/Kota adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan Sekretaris Jenderal KPU.
(3) Sekretaris KPU Kabupaten/Kota dipilih oleh KPU Kabupaten/Kota dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan oleh bupati/walikota dan selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Sekretaris Jenderal KPU.
Bagian Kelima
Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara
Pasal 34
(1) Untuk melaksanakan Pemilu di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan, dibentuk PPK dan PPS.
(2) PPK dan PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 35
(1) PPK berkedudukan di pusat pemerintahan kecamatan.
(2) Tugas dan wewenang PPK adalah:
a. mengumpulkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dan melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPS dalam wilayah kerjanya; dan
b. membantu tugas-tugas KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Pemilu.
Pasal 36
(1) Anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang berasal dari tokoh masyarakat.
(2) Anggota PPK diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul camat.
(3) Dalam melaksanakan tugas, PPK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris dari pegawai negeri sipil yang ditunjuk oleh camat.
(4) Pegawai sekretariat PPK adalah pegawai kecamatan.
(5) Kepala sekretariat dan personel sekretariat diangkat dan diberhentikan oleh camat atas usul PPK.
(6) Tugas sekretariat PPK berakhir 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara.
Pasal 37
(1) PPS berkedudukan di desa/kelurahan.
(2) Anggota PPS sebanyak 3 (tiga) orang berasal dari tokoh masyarakat.
(3) Anggota PPS diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul kepala desa/kepala kelurahan.
(4) Tugas dan wewenang PPS adalah:
a. melakukan pendaftaran pemilih;
b. mengangkat petugas pencatat dan pendaftar;
c. menyampaikan daftar pemilih kepada PPK;
d. membentuk KPPS;
e. melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh TPS dalam wilayah kerjanya; dan
f. membantu tugas PPK.
Pasal 38
(1) PPLN berkedudukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.
(2) Anggota PPLN sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang dan berasal dari wakil masyarakat Indonesia.
(3) Anggota PPLN diangkat dan diberhentikan oleh KPU atas usul Kepala Perwakilan Republik Indonesia sesuai dengan wilayah kerjanya.
(4) Susunan keanggotaan PPLN terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan anggota.
(5) Tugas dan wewenang PPLN adalah:
a. melakukan pendaftaran pemilih warga negara Republik Indonesia;
b. mengangkat petugas pencatat dan pendaftar;
c. menyampaikan daftar pemilih warga negara Republik Indonesia kepada KPU;
d. membentuk KPPSLN; dan
e. melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh TPSLN dalam wilayah kerjanya.
Pasal 39
(1) KPPS bertugas melaksanakan pemungutan suara dan penghitungan suara Pemilu di TPS.
(2) Anggota KPPS sebanyak 7 (tujuh) orang.
(3) Untuk melaksanakan tugas KPPS, di setiap TPS diperbantukan petugas keamanan dari satuan pertahanan sipil/perlindungan masyarakat sebanyak 2 (dua) orang.
(4) KPPS berkewajiban membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta membuat sertifikat hasil penghitungan suara untuk disampaikan kepada PPS.
Pasal 40
(1) KPPSLN bertugas melaksanakan pemungutan suara Pemilu di TPSLN.
(2) Anggota KPPSLN sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang.
(3) KPPSLN berkewajiban membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta membuat sertifikat hasil penghitungan suara untuk disampaikan kepada PPLN.
Pasal 41
Syarat untuk menjadi anggota PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN adalah sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berumur sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun;
c. berdomisili di wilayah kerja PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN;
d. terdaftar sebagai pemilih; dan
e. tidak menjadi pengurus partai politik.
Pasal 42
Uraian tugas dan tata kerja PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN lebih lanjut ditetapkan oleh KPU.
Bagian Keenam
Pengadaan dan Distribusi
Perlengkapan Pelaksanaan Pemilihan Umum
Pasal 43
(1) Pengadaan dan pendistribusian surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan Pemilu dilaksanakan secara cepat, tepat, dan akurat dengan mengutamakan aspek kualitas, keamanan, dan hemat anggaran.
(2) Pengadaan surat suara dilakukan di dalam negeri dengan mengutamakan kapasitas cetak yang sesuai dengan kebutuhan surat suara dan hasil cetak yang berkualitas.
(3) Jumlah surat suara yang dicetak ditetapkan oleh KPU.
(4) Pengadaan surat suara beserta perlengkapan pelaksana Pemilu dilaksanakan oleh KPU.
Pasal 44
(1) Selama proses pencetakan surat suara berlangsung, perusahaan yang bersangkutan hanya dibenarkan mencetak surat suara sejumlah yang ditetapkan oleh KPU dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan surat suara.
(2) KPU dapat meminta bantuan aparat keamanan untuk mengadakan pengamanan terhadap surat suara selama proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat tujuan.
(3) Secara periodik surat suara yang telah selesai dicetak dan diverifikasi, yang sudah dikirim dan/atau yang masih tersimpan, dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU.
(4) KPU menempatkan petugas KPU di lokasi pencetakan surat suara untuk menjadi saksi dalam setiap pembuatan berita acara verifikasi dan pengiriman surat suara pada perusahaan percetakan.
(5) KPU mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang digunakan untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah digunakan serta menyegel dan menyimpannya.
(6) Tata cara pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan, penyimpanan, pengepakan, dan pendistribusian surat suara ke tempat tujuan ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 45
(1) KPU menetapkan jumlah surat suara yang akan didistribusikan.
(2) Pendistribusian surat suara dilakukan oleh KPU.
(3) Surat suara beserta perlengkapan pelaksanaan Pemilu harus sudah diterima PPS dan PPLN selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum pemungutan suara.
(4) Tata cara dan teknis pendistribusian surat suara sampai di KPPS dan KPPSLN ditetapkan dengan keputusan KPU.



BAB V
DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI

Bagian Pertama
Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 46
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota, masing-masing ditetapkan Daerah Pemilihan sebagai berikut:
a. Daerah Pemilihan anggota DPR adalah Provinsi atau bagian-bagian Provinsi.
b. Daerah Pemilihan anggota DPRD Provinsi adalah Kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota sebagai daerah Pemilihan;
c. Daerah Pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah Kecamatan atau gabungan Kecamatan sebagai daerah Pemilihan.
(2) Penetapan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota ditentukan oleh KPU dengan ketentuan setiap daerah pemilihan mendapatkan alokasi kursi antara 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) kursi.
Pasal 47
Jumlah kursi DPR ditetapkan sebanyak 550 (lima ratus lima puluh).
Pasal 48
(1) Jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar.
(2) Tata cara perhitungan jumlah kursi anggota DPR untuk setiap Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 49
(1) Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi ditetapkan sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) kursi dan sebanyak-banyaknya 100 (seratus) kursi.
(2) Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan:
a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;
b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi;
c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;
e. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;
g. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 100 (seratus) kursi.
(3) Jumlah kursi anggota DPRD setiap provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 50
(1) Jumlah kursi anggota DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) kursi dan sebanyak-banyaknya 45 (empat puluh lima) kursi.
(2) Jumlah kursi anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk di kabupaten/kota dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa mendapat 20 (dua puluh) kursi;
b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 200.000 (dua ratus ribu) jiwa mendapat 25 (dua puluh lima) kursi;
c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) sampai dengan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa mendapat 30 (tiga puluh) kursi;
d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu) sampai dengan 400.000 (empat ratus ribu) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;
f. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 400.000 (empat ratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa mendapat 40 (empat puluh) kursi;
g. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi.
(3) Jumlah kursi anggota DPRD setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
Bagian Kedua
Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPD
Pasal 51
Daerah pemilihan untuk anggota DPD adalah provinsi.
Pasal 52
Jumlah anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat) orang.
BAB VI
PENDAFTARAN PEMILIH
Pasal 53
(1) Pendaftaran pemilih dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih dengan mendatangi kediaman pemilih dan/atau dapat dilakukan secara aktif oleh pemilih.
(2) Pendaftaran pemilih bagi warga negara Republik Indonesia yang berdomisili di luar negeri dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan mendaftarkan diri ke PPLN setempat dan/atau dapat dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih.
(3) Pendaftaran pemilih selesai dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum hari pemungutan suara.
(4) Tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih ditetapkan oleh KPU.
Pasal 54
(1) Pendaftaran pemilih dilakukan dengan mencatat data pemilih dalam daftar pemilih.
(2) Data pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. nama lengkap;
b. status perkawinan;
c. tempat dan tanggal lahir/umur;
d. jenis kelamin;
e. jenis cacat yang disandang; dan
f. alamat tempat tinggal.
(3) Formulir daftar pemilih ditetapkan oleh KPU.
Pasal 55
Daftar pemilih untuk setiap daerah pemilihan disimpan dan dipelihara oleh KPU.
Pasal 56
Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih.
Pasal 57
(1) Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih.
(2) Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Pasal 58
(1) Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, kemudian berpindah tempat tinggal atau karena ingin menggunakan hak pilihnya di tempat lain, pemilih yang bersangkutan harus melapor kepada PPS setempat.
(2) PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat nama pemilih dari daftar pemilih dan memberikan surat keterangan pindah tempat memilih.
(3) Pemilih melaporkan kepindahannya kepada PPS di tempat pemilihan yang baru.
(4) Pemilih terdaftar yang karena sesuatu hal terpaksa tidak dapat menggunakan hak pilihnya di TPS yang sudah ditetapkan, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya di tempat lain dengan menunjukkan kartu pemilih.
Pasal 59
(1) Berdasarkan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, PPS menyusun dan menetapkan daftar pemilih sementara.
(2) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh PPS untuk mendapat tanggapan masyarakat.
(3) Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih sementara dapat mendaftarkan diri ke PPS dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
(4) Daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tambahan ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap.
(5) Daftar pemilih tetap disahkan dan diumumkan oleh PPS.
BAB VII
PENCALONAN ANGGOTA DPR, DPD, DPRD PROVINSI,
DAN DPRD KABUPATEN/KOTA

Bagian Pertama
Persyaratan Calon Anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 60
Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat:
a. warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
j. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan
k. terdaftar sebagai pemilih.
Pasal 61
Seorang calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota hanya dapat dicalonkan dalam satu lembaga perwakilan pada satu daerah pemilihan.
Pasal 62
Calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus terdaftar sebagai anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal 63
Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, juga harus memenuhi syarat:
a. berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;
b. tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Pasal 64
Calon anggota DPD dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 63 huruf a, harus mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Tata Cara Pencalonan
Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 65
(1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
(2) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan.
(3) Pengajuan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
calon anggota DPR disampaikan kepada KPU;
calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU Provinsi yang bersangkutan; dan
calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 66
Pengajuan calon anggota DPD dilakukan dengan ketentuan:
a. calon mendaftarkan diri kepada KPU melalui KPU Provinsi dengan menyebutkan provinsi yang diwakilinya;
b. calon menyerahkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 63, dan Pasal 64 kepada KPU yang batas waktunya ditetapkan oleh KPU.
Pasal 67
(1) Calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang diajukan Partai Politik Peserta Pemilu merupakan hasil seleksi secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu menyerahkan nama-nama calon hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta kelengkapan administrasi calon kepada KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang batas waktunya ditetapkan oleh KPU.
(3) Urutan nama calon dalam daftar calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan disusun oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berdasarkan nomor urut yang ditetapkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu sesuai dengan tingkatannya.
(4) Urutan nama calon dalam daftar calon anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan disusun oleh KPU.
(5) Paling lambat 2 (dua) bulan sebelum pemungutan suara, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sudah menetapkan dan mengumumkan nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan.
(6) Prosedur, format kelengkapan administrasi, dan tata cara pengajuan daftar calon ditetapkan oleh KPU.
Pasal 68
(1) Partai Politik Peserta Pemilu yang mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik sesuai dengan tingkatannya;
b. surat pernyataan kesediaan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
c. daftar riwayat hidup setiap calon;
d. surat pernyataan bertempat tinggal yang ditandatangani oleh calon yang bersangkutan;
e. fotokopi tanda bukti penyerahan daftar kekayaan yang dimiliki setiap calon dari instansi yang berwenang kepada KPU; dan
f. surat-surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 62.
(2) Perseorangan yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan bermeterai cukup dan ditandatangani oleh yang bersangkutan;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan bertempat tinggal yang ditandatangani oleh calon yang bersangkutan;
d. fotokopi bukti penyerahan daftar kekayaan yang dimilikinya dari instansi yang berwenang kepada KPU;
e. keterangan/data berkenaan dengan dukungan pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2); dan
f. surat-surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 63, dan Pasal 64.
(3) Format pengisian data calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
(4) Nama calon beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada:
a. KPU untuk calon anggota DPR dan DPD;
b. KPU Provinsi untuk calon anggota DPRD Provinsi; dan
c. KPU Kabupaten/Kota untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota.
(5) Penelitian terhadap kelengkapan dan penetapan atas keabsahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh:
a. KPU untuk calon anggota DPR dan DPD;
b. KPU Provinsi untuk calon anggota DPRD Provinsi ; dan
c. KPU Kabupaten/Kota untuk calon anggota DPRD Kabupaten/Kota.
(6) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah selesai penelitian kelengkapan dan keabsahan data calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2), KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota menyampaikan hasil penelitian kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu dan calon perseorangan anggota DPD.
(7) Apabila seorang calon ditolak karena tidak memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), penolakannya diberitahukan secara tertulis kepada pengurus Partai Politik Peserta Pemilu dan kepada calon perseorangan anggota DPD untuk diberi kesempatan melengkapi dan/atau memperbaiki syarat calon atau mengajukan calon lain bagi Partai Politik Peserta Pemilu.
(8) Kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki syarat calon atau mengajukan calon lain dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterima.
Pasal 69
(1) Nama calon yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 67, dan Pasal 68 ditetapkan dalam rapat pleno KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
(2) Nama calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan dalam Berita Negara/Lembaran Daerah dan dipublikasikan melalui media massa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jadwal waktu pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan KPU.
Pasal 70
Jenis, bentuk, dan ukuran formulir untuk keperluan pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan dengan keputusan KPU.
BAB VIII
KAMPANYE
Bagian Pertama
Kampanye Pemilihan Umum
Pasal 71
(1) Dalam penyelenggaraan Pemilu, dapat diadakan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh peserta Pemilu.
(2) Dalam kampanye Pemilu, rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri kampanye.
(3) Kegiatan kampanye dilakukan oleh peserta Pemilu selama 3 (tiga) minggu dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
(4) Materi kampanye Pemilu berisi program peserta Pemilu.
(5) Penyampaian materi kampanye Pemilu dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif.
(6) Pedoman dan jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPU dengan memperhatikan usul dari peserta Pemilu.
Pasal 72
Kampanye Pemilu dilakukan melalui:
a. pertemuan terbatas;
b. tatap muka;
c. penyebaran melalui media cetak dan media elektronik;
d. penyiaran melalui radio dan/atau televisi;
e. penyebaran bahan kampanye kepada umum;
f. pemasangan alat peraga di tempat umum;
g. rapat umum; dan
h. kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Pasal 73
(1) Media elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye Pemilu.
(2) Media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk memasang iklan Pemilu dalam rangka kampanye.
(3) Pemerintah pada setiap tingkatan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menggunakan fasilitas umum.
(4) Semua pihak yang hadir dalam pertemuan terbatas atau rapat umum yang diadakan oleh suatu peserta Pemilu hanya dibenarkan membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut peserta Pemilu yang bersangkutan.
(5) KPU berkoordinasi dengan pemerintah untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye Pemilu.
(6) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh peserta Pemilu dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Pemasangan alat peraga kampanye Pemilu pada tempat-tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus seizin pemilik tempat tersebut.
(8) Alat peraga kampanye Pemilu harus sudah dibersihkan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
(9) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan ketentuan pasal ini ditetapkan oleh KPU.
Pasal 74
Dalam kampanye Pemilu dilarang:
a. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta Pemilu yang lain;
c. menghasut dan mengadu domba antarperseorangan maupun antarkelompok masyarakat;
d. mengganggu ketertiban umum;
e. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain;
f. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta Pemilu;
g. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Pasal 75
(1) Dalam kampanye Pemilu, dilarang melibatkan :
a. Ketua/Wakil Ketua/Ketua Muda/Hakim Mahkamah Agung/Hakim Mahkamah Konstitusi dan hakim-hakim pada semua badan peradilan;
b. Ketua/Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c. Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur Bank Indonesia;
d. Pejabat BUMN/BUMD;
e. Pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri;
f. Kepala Desa atau sebutan lain.
(2) Pejabat Negara yang berasal dari partai politik yaitu Presiden/Wakil Presiden/Menteri/Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/ Walikota/Wakil Walikota, dalam kampanye harus memenuhi ketentuan :
tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
menjalani cuti diluar tanggungan negara;
pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.
(3) Partai Politik Peserta Pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dalam Pemilu.
Pasal 76
(1) Pelanggaran atas ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelanggaran atas ketentuan mengenai larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf d, huruf f, dan huruf g, yang merupakan pelanggaran tata cara kampanye dikenai sanksi:
peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye Pemilu melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan;
penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain.
(3) Tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
(4) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dikenai sanksi penghentian kampanye selama masa kampanye Pemilu oleh KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 77
(1) Selama masa kampanye sampai dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
(2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal sebagai calon oleh KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/ Kota.
(3) Tata cara pembatalan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
Bagian Kedua
Dana Kampanye Pemilihan Umum
Pasal 78
(1) Dana kampanye Pemilu dapat diperoleh peserta Pemilu dari:
anggota Partai Politik Peserta Pemilu yang bersangkutan termasuk calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi badan hukum swasta, atau perseorangan, baik yang disampaikan kepada Partai Politik Peserta Pemilu maupun kepada calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
(2) Sumbangan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan dari badan hukum swasta tidak boleh melebihi Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk utang dari perseorangan atau badan hukum swasta tidak boleh melebihi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Jumlah sumbangan lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) kepada peserta Pemilu wajib dilaporkan kepada KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota mengenai bentuk, jumlah sumbangan, dan identitas lengkap pemberi sumbangan.
(5) KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota mengumumkan laporan sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada masyarakat melalui media massa.
Pasal 79
(1) Seluruh laporan dana kampanye peserta Pemilu, baik penerimaan maupun pengeluaran, wajib diserahkan kepada akuntan publik terdaftar selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sesudah hari pemungutan suara.
(2) Akuntan publik terdaftar wajib menyelesaikan audit selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada KPU dan peserta Pemilu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah selesainya audit.
Pasal 80
(1) Peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye Pemilu yang berasal dari:
pihak asing;
a. penyumbang yang tidak jelas identitasnya; dan
b. pemerintah, BUMN, dan BUMD.
(2) Peserta Pemilu yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkan kepada KPU selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas negara.
(3) Peserta Pemilu yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi pidana.
BAB IX
PEMUNGUTAN, PENGHITUNGAN SUARA,
DAN PENETAPAN HASIL PEMILIHAN UMUM
Bagian Pertama
Pemungutan Suara
Pasal 81
(1) Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota diselenggarakan secara serentak.
(2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara bagi pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk semua daerah pemilihan ditetapkan oleh KPU.
Pasal 82
(1) Untuk memberikan suara dalam Pemilu, dibuat surat suara Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan surat suara Pemilu anggota DPD.
(2) Surat suara Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, memuat nomor dan tanda gambar partai politik peserta Pemilu dan calon untuk setiap daerah pemilihan.
(3) Surat suara Pemilu anggota DPD memuat nama dan foto calon perseorangan anggota DPD untuk setiap daerah pemilihan.
(4) Jumlah, jenis, bentuk, ukuran, dan warna surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 83
(1) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 yang disediakan di setiap daerah pemilihan adalah sama dengan jumlah pemilih terdaftar di daerah pemilihan yang bersangkutan ditambah 2,5% (dua setengah persen).
(2) Tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai cadangan di setiap TPS.
(3) Penggunaan tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.
(4) Format berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 84
(1) Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan dengan mencoblos salah satu tanda gambar Partai Politik Peserta Pemilu dan mencoblos satu calon dibawah tanda gambar Partai Politik Peserta Pemilu dalam surat suara.
(2) Pemberian suara untuk pemilihan anggota DPD dilakukan dengan mencoblos satu calon anggota DPD dalam surat suara.
Pasal 85
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh petugas KPPS atau orang lain atas permintaan pemilih.
(2) Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 86
Pemberian suara dilakukan di TPS pada hari pemungutan suara.
Pasal 87
Tata cara pemberian dan pemungutan suara lebih lanjut diatur oleh KPU.
Pasal 88
(1) Jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang.
(2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.
(3) Jumlah, lokasi, bentuk, dan tata letak TPS ditetapkan oleh KPU.
Pasal 89
(1) Untuk keperluan pemungutan suara dalam pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota disediakan kotak suara untuk tempat surat suara yang digunakan oleh pemilih.
(2) Jumlah, bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 90
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS melakukan:
pembukaan kotak suara;
pengeluaran seluruh isi kotak suara;
pengidentifikasian jenis dokumen dan peralatan; serta
penghitungan jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan.
(2) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri oleh peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(3) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS dan dapat ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
Pasal 91
(1) Setelah melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, KPPS memberikan penjelasan mengenai tata cara pemungutan suara.
(2) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran pemilih.
(3) Apabila menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan surat suara pengganti hanya satu kali.
(4) Apabila terdapat kekeliruan dalam cara memberikan suaranya, pemilih dapat meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan surat suara pengganti hanya satu kali.
Pasal 92
(1) Pemilih yang telah memberikan suara di TPS diberi tanda khusus oleh KPPS.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU.
Pasal 93
(1) Suara untuk pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan sah apabila:
surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;
tanda coblos pada tanda gambar partai politik dan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berada pada kolom yang disediakan; atau
tanda coblos pada tanda gambar partai politik berada pada kolom yang disediakan;
(2) Teknis pelaksanaan tentang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPU.
Pasal 94
(1) Suara untuk pemilihan anggota DPD dinyatakan sah apabila:
surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;
tanda coblos terdapat pada 1 (satu) calon perseorangan;
(2) Teknis pelaksanaan tentang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPU.
Pasal 95
(1) Pemungutan suara bagi warga negara Republik Indonesia yang berada di luar negeri hanya untuk memilih anggota DPR yang dilaksanakan di setiap kantor perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada waktu yang bersamaan dengan waktu pemungutan suara Pemilu di Indonesia.
(2) Dalam hal pemilih tidak dapat memberikan suara di TPSLN yang telah ditentukan, pemilih yang bersangkutan dapat memberikan suara melalui pos yang disampaikan kepada perwakilan Republik Indonesia setempat.
Bagian Kedua
Penghitungan Suara
Pasal 96
(1) Penghitungan suara di TPS/TPSLN dilakukan oleh KPPS/KPPSLN setelah pemungutan suara berakhir.
(2) Sebelum penghitungan suara dimulai, KPPS/KPPSLN menghitung:
jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar pemilih tetap untuk TPS/TPSLN;
jumlah pemilih dari TPS/TPSLN lain;
jumlah surat suara yang tidak terpakai; dan
jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau keliru dicoblos.
(3) Penggunaan surat suara tambahan dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS/KPPSLN dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS/KPPSLN.
(4) Penghitungan suara dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN oleh KPPS/ KPPSLN dan dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat
(5) Suara yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memiliki nama calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) dianggap tidak sah.
(6) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS/KPPSLN.
(7) Penghitungan suara dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat yang hadir dapat menyaksikan secara jelas proses penghitungan suara.
(8) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(9) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi peserta Pemilu atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat diterima, KPPS/KPPSLN seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(10) Segera setelah selesai penghitungan suara di TPS/TPSLN, KPPS/KPPSLN membuat berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPPS/KPPSLN serta dapat ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(11) KPPS/KPPSLN memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada saksi peserta Pemilu yang hadir.
(12) KPPS/KPPSLN menyerahkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, surat suara, dan alat kelengkapan administrasi pemungutan dan penghitungan suara kepada PPS/PPLN segera setelah selesai penghitungan suara.
Pasal 97
(1) Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, PPS membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat desa/kelurahan dan dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(2) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPS.
(3) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi peserta Pemilu atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPS seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua TPS dalam wilayah kerja desa/kelurahan yang bersangkutan, PPS membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPS serta ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(6) PPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada saksi peserta Pemilu yang hadir.
(7) PPS wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada PPK setempat.
(8) PPLN melakukan rekapitulasi atas perolehan hasil suara berdasarkan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya.
(9) PPLN menyerahkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh KPPSLN di wilayah kerjanya kepada KPU.
Pasal 98
(1) Setelah menerima berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, PPK membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat kecamatan dan dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, panitia pengawas, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(2) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPK.
(3) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh PPK apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi peserta Pemilu, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua PPS dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, PPK membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota PPK serta ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(6) PPK wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada saksi peserta Pemilu yang hadir.
(7) PPK wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada KPU Kabupaten/Kota setempat.
Pasal 99
(1) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota serta hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPD di kabupaten/kota dilakukan dalam rapat pleno KPU Kabupaten/Kota berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh PPK.
(2) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(3) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPU Kabupaten/ Kota.
(4) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara dilakukan di tempat dan keadaan yang memungkinkan semua yang hadir dapat menyaksikannya secara jelas.
(5) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPU Kabupaten/Kota apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diterima, KPU Kabupaten/Kota seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(7) KPU Kabupaten/Kota membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU Kabupaten/Kota serta ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(8) KPU Kabupaten/Kota memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara kepada saksi peserta Pemilu.
(9) Salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dibuat oleh KPU Kabupaten/Kota disampaikan kepada:
a. KPU dengan tembusan kepada KPU Provinsi untuk anggota DPR;
b. KPU dengan tembusan kepada KPU Provinsi untuk anggota DPD;
c. KPU Provinsi dengan tembusan kepada KPU untuk anggota DPRD Provinsi;
d. KPU Provinsi dengan tembusan kepada KPU untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 100
(1) Pelaksanaan rekapitulasi dan penetapan hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPRD Provinsi dan hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPD di provinsi dilakukan dalam rapat pleno KPU Provinsi berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/ Kota.
(2) Pelaksanaan rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, dan warga masyarakat.
(3) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPU Provinsi.
(4) Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara anggota DPRD Provinsi dan anggota DPD dilakukan di tempat dan keadaan yang memungkinkan semua yang hadir dapat menyaksikan seluruh proses penghitungan suara.
(5) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPU Provinsi apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi peserta Pemilu, sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diterima, KPU Provinsi seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(7) KPU Provinsi membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara bagi anggota DPRD Provinsi dan anggota DPD yang ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU Provinsi serta ditandatangani saksi peserta Pemilu.
(8) Berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara anggota DPRD Provinsi dan anggota DPD yang dibuat oleh KPU Provinsi disampaikan kepada KPU.
(9) KPU Provinsi memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara kepada saksi peserta Pemilu.
Pasal 101
(1) Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPR dilakukan oleh KPU berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(2) Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu anggota DPD dilakukan oleh KPU berdasarkan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU Provinsi.
(3) Pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dan ditetapkan dalam rapat pleno KPU dan dihadiri oleh saksi peserta Pemilu, pengawas Pemilu, dan pemantau Pemilu.
(4) Saksi peserta Pemilu harus membawa surat mandat dari peserta Pemilu yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPU.
(5) Pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara Pemilu anggota DPR dan DPD dilakukan di tempat dan keadaan yang memungkinkan semua yang hadir dapat menyaksikan pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara.
(6) Peserta Pemilu dan warga masyarakat melalui saksi peserta Pemilu yang hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh KPU apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi peserta Pemilu, sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diterima, KPU seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(8) KPU membuat berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara anggota DPR dan DPD yang ditandatangani oleh anggota KPU, serta ditandatangani oleh saksi peserta Pemilu.
(9) KPU memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada saksi peserta Pemilu.
Pasal 102
Keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi peserta Pemilu terhadap proses rekapitulasi hasil penghitungan suara tidak menghalangi proses pelaksanaan Pemilu.
Pasal 103
(1) Tata cara pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan TPSLN ditetapkan oleh KPU.
(2) Tata cara pelaksanaan rekapitulasi hasil perolehan suara oleh PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi ditetapkan oleh KPU.
(3) Format berita acara penerimaan, format berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara oleh KPPS/KPPSLN, dan format berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara PPS, PPLN, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101 ditetapkan oleh KPU.
Bagian Ketiga
Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum
Pasal 104
(1) Penetapan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara nasional oleh KPU.
(2) Pengumuman penetapan hasil Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah pemungutan suara.
BAB X
PENETAPAN PEROLEHAN KURSI DAN CALON TERPILIH
Bagian Pertama
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 105
(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas seluruh hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 101 ayat (3).
(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan angka BPP dengan cara membagi jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(3) Tata cara penentuan BPP untuk setiap daerah pemilihan ditetapkan oleh KPU.
Pasal 106
Setelah ditetapkan angka BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2), ditetapkan perolehan jumlah kursi tiap Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan cara membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP, dengan ketentuan:
a. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua;
b. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi didaerah pemilihan yang bersangkutan;
c. penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak.
Pasal 107
(1) Dalam menentukan pembagian jumlah kursi untuk menetapkan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, Partai Politik Peserta Pemilu tidak dibenarkan mengadakan perjanjian penggabungan sisa suara.
(2) Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu Daerah Pemilihan, dengan ketentuan :
a. nama calon yang mencapai angka BPP ditetapkan sebagai calon terpilih;
b. nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada c. daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan;
(3) Tata cara pelaksanaan penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
ditetapkan oleh KPU.
Pasal 108
(1) Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota dilakukan dalam rapat pleno KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh saksi Partai Politik Peserta Pemilu dan pengawas Pemilu.
(2) Hasil penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat.



Bagian Kedua
Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Pasal 109
(1) Penetapan calon terpilih anggota DPD didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan keempat di provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, maka calon yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon terpilih.
(3) Tata cara pelaksanaan penetapan calon terpilih anggota DPD ditetapkan oleh KPU.